{getFeatured} $label={recent} $type={featured1}
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HAKIKAT ILMU DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

HAKIKAT ILMU DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
TINJAUAN TERHADAP MAKNA, HAKIKAT, DAN SUMBER-SUMBER ILMU DALAM ISLAM

M.SHIDIQ 21200011079
Prodi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam
Universitas Wahid Hasyim Semarang, Indonesia

Abstrak
Tulisan ini mencoba menggali konsep ilmu (‘ilm) dalam Islam. Ada dua aspek yang akan dibahas di sini. Keduanya merupakan pandangan tentang makna dan hakikat ilmu dalam Islam dan sumber ilmu dalam Islam. Yang pertama membahas tentang aspek ontologis dan yang kedua membahas tentang aspek epistemologis. Artikel ini menunjukkan bahwa penelitian bahwa konsep ilmu dalam Islam mirip dengan konsep ilmu dalam tradisi barat, namun dengan cakupan yang lebih luas. Dilihat dari sumber-sumber ilmu, ada tiga aspek yang bisa digali, yaitu tanda-tanda qauliyyah (firman Tuhan), tanda-tanda kauniyyah (alam semesta), dan tanda-tanda insâniyyah.

Kata Kunci: konsep ilmu, epistemologi, hakikat ilmu, ayat-ayat Tuhan

Abstract

This paper tries to explore the concept of knowledge (‘ilm) in Islam. There are two aspects that will be discussed here. Both are the view of meaning and the essence of knowledge in Islam and the sources of knowledge in Islam. The first one speaks about the ontological aspect and the second one discusses about epistemological aspect. This ar- ticle shows that the research that the concept of knowledge in Islam is similar with the concept of  science in western tradition, but with the wider scope. Seeing in knowledge sources, there are three aspects that can be explored, those are the signs of qauliyyah (the words of God), the signs of kauniyyah (the world of God), and the signs of insâniyyah.

Keywords: the concept of science, epistemology, the nature of science, God's verses








PENDAHULUAN
Dalam Islam, ilmu menempati posisi dan peran yang sangat strategis. Sangat banyak ayat Alquran maupun Hadis yang menegaskan keharusan umat Islam untuk menguasai ilmu. Fungsi Adam sebagai seorang khalifah ditandai dengan pengajaran ilmu (asmâa kullaha) dari Allah, yang kemudian membuat Adam pantas untuk disujudi oleh para malaikat. Allah juga telah menjanjikan orang yang beriman dan memiliki ilmu pada posisi yang lebih tinggi derajatnya.
Mengingat peran strategis ilmu dalam Islam, maka konsep ilmu dalam Islam menjadi sesuatu yang penting untuk diketahui. Kekeliruan dalam memahami konsep ilmu dalam Islam dapat berakibat pada pengkerdilan makna Islam itu sendiri. Fakta inilah yang disinyalir terjadi di dunia muslim. Syed M. Naquib al-Attas misalnya menyebutkan bahwa kemunduran Islam yang terjadi secara beruntun sejak beberapa abad belakangan ini, disebabkan oleh kerancuan ilmu (corruption of  knowledge) dan lemahnya penguasaan umat terhadap ilmu. Faktor-faktor inilah jelas al-Attas, yang menjadikan umat Islam menghadapi berbagai masalah di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. 
Berangkat dari pemikiran di atas, maka artikel ini ditulis sebagai penjelasan terhadap konsep ilmu dalam Islam. Ada dua aspek utama yang didiskusikan dalam tulisan ini. Pertama, berkaitan dengan pandangan sekitar makna dan hakikat ilmu dalam Islam dan yang kedua, berkenaan dengan pandangan tentang sumber-sumber ilmu dalam Islam.

METODE PENELITIAN
Artikel   ini  lahir  berdasarkan   penelitian   kualitatif   jenis   penelitian   kepustakaan    yang  sumber utamanya  dari buku, jurnal  dan artikel  ilrniah lainnya.  Data yang dikumpulkan   dianalisis   menggunakan analisis   konten  untuk  memudahkan  penulis   menyaring   ide  pokok  dari  berbagai   sumber   yang  ada. 

HASIL DAN PEMBAHASAN 
A. Pandangan Tentang Makna dan Hakikat Ilmu
Para pemikir Islam tradisional, sebagaimana dikemukakan al-Attas membagi definisi dalam dua kategori. Pertama,  hadd, yakni suatu definisi yang bermaksud mencari hal yang spesifik (khusus) dari objek yang di- definisikan sehingga ia berbeda dengan objek lainnya seperti manusia didefinisikan sebagai  hayawân nâtiq atau hewan yang berpikir. Kedua, rasm, yaitu definisi yang menerangkan karakteristik utama dari objek, tetapi bukan inti seperti definisi bahwa manusia adalah hewan yang tertawa. Mendefinisi- kan ilmu dengan hadd tidak mungkin, karena terkait dengan sifat yang inheren pada ilmu, yakni tidak memiliki batasan dan karekteristik spesifik seperti pemilahan spesies dari kategori genus. Sejauh ini upaya yang lazim dilaku- kan para pemikir muslim dalam mendefinisikan ilmu menggunakan kategori kedua, yakni rasm, yaitu dengan menguraikan karakteristik-karakteristik umum yang terdapat dalam ilmu. 
Secara kebahasaan, ilmu berasal dari akar kata ‘ilm yang diartikan sebagai tanda, penunjuk, atau petunjuk agar sesuatu atau seseorang dikenal. Demikian juga ma’lam, artinya tanda jalan atau sesuatu agar seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang. Selain itu, ‘alam juga dapat diartikan sebagai penunjuk jalan. Kata ilmu dengan berbagai bentuk terulang 854 kali dalam Alquran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Dalam pandangan Alquran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia ung gul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan (Q.S. al-Baqarah [2]: 31-32). Manusia menurut Alquran memiliki potensi untuk meraih dan mengembangkan ilmu dengan seizin Allah. Ada banyak ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut. Alquran juga menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang-orang yang berpengetahuan. 
Di dalam Alquran, penjelasan tentang konsep ilmu terdiri dari dua macam. Pertama, ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia atau disebut juga ilmu laduni sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 65. Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia atau dinamai ilmu kasbi. Ayat- ayat tentang ilmu kasbi ini jauh lebih banyak daripada yang berbicara tentang ilmu laduni.  Kenyataan ini sekaligus menjadi pesan implisit yang kuat bahwa jenis ilmu yang kedua inilah yang lebih ditekankan dalam Islam. Secara terminologis, ada banyak pandangan tentang definisi atau pengertian ilmu yang dikemukakan para pemikir muslim, baik klasik maupun kontemporer. Beragam pandangan mengenai definisi ilmu ini sekaligus menjadi indikasi kuat betapa sebenarnya umat Islam memiliki perhatian serius terhadap ilmu. Al-Baqillani mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan tentang objek yang diketahui sebagaimana apa adanya.  
Definisi yang seperti ini sangat masyhur di kalangan pemikir muslim, yang sering kali dihadapkan vis-a-vis dengan istilah opini atau ra’yun.  Untuk yang terakhir ini cenderung bersifat subjektif, dalam artian sang subjek memiliki peran yang sangat dominan (subjektifitas yang tinggi) dalam menilai suatu objek. Sementara itu ilmu dipandang harus meminimalisir sedapat mungkin unsur subjektifitas, karena itu ia hanya melihat objek sebagaimana yang ada pada objek itu sendiri. Pemikir klasik lain, Abu Bakr bin Furak memberikan definisi ilmu kepada hal yang bersifat lebih praktis, dengan mengatakan bahwa ilmu adalah sesuatu agar sang pemilik mampu bertindak dengan benar dan baik.
Definisi ini sangat berdimensi fungsional dengan melihat kepada asas manfaat dari fungsi ilmu yang mesti berlaku bagi pemiliknya. Adapun al- Amidi mendefinisikan ilmu sebagai sifat agar jiwa sang pemilik dapat membedakan beberapa realitas yang tidak tercerap oleh indra jiwa, sehingga menjaganya dari derita. Ketika itu ia sampai pada suatu keadaan yang tidak memungkinkan sesuatu yang dibedakan itu berbeda dengan cara-cara perbedaan itu diperoleh.  Pada definisi ini, ilmu dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman atau kesadaran terhadap realitas, sehingga dapat menenangkan jiwa.
Pemikir muslim kontemporer yang cukup konsern dengan masalah keilmuan adalah Syed M. Naquib al-Attas. Dalam mendefenisikan ilmu, ia berangkat dari sebuah premis bahwa ilmu itu datang dari Allah swt. dan diperoleh dari jiwa yang kreatif. Sebagai sesuatu yang berasal dari Allah swt., ilmu didefinisikan sebagai tibanya (hushûl) makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; sedangkan sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu adalah tibanya jiwa (wushûl) pada makna sesuatu atau objek ilmu. Pada definisi yang pertama, titik tekan ada pada Allah swt. sebagai sumber segala ilmu; sedangkan pada definisi yang kedua, lebih berorientasi pada manusia yang merupakan si pencari ilmu.  Definisi yang dikemukakan oleh al-Attas di atas dapat mewakili kecenderungan beberapa pandangan yang berbeda dari banyak pemikir muslim. Untuk definisi pertama, yang memandang ilmu sebagai datangnya objek kepada jiwa pencari ilmu, merupakan keyakinan sementara kaum sufi yang sering menyebut ilmu laduni dan aliran filsafat illuminasi (isyrâqiyyah) yang dipopulerkan oleh Suhrawardi al-Maqtul. 
Adapun definisi kedua merupakan pandangan populer para ahli pemikir rasionalis seperti halnya aliran filsafat peripatetik (masysyâî) dan kebanyakan pemikir muslim yang lain. Hanya saja pengertian di atas lebih terkait dengan proses pemerolehan ilmu sendiri, yang dalam hal ini digambarkan dengan dua model prosedur pemerolehan, namun definisi yang lebih memadai tentang makna ilmu dapat merujuk kepada pemaknaan beberapa ilmuwan seperti halnya al-Baqillani yang dikemukakan terdahulu. Menurut pengertian yang umum dikemukakan oleh sarjana muslim, ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan sesuatu secara objektif. Pengertian ini menghendaki bahwa pengetahuan itu harus benar-benar dapat mewakili dari realitas atau objek yang dikaji, bukan sekadar asumsi, perkiraan, opini terhadap sesuatu yang terkadang sering kali tidak sama atau tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya ada.
Definisi dan pemahaman tentang ilmu dalam tradisi pemikiran Is- lam klasik seperti yang dikemukakan di atas hampir serupa dengan pengertian sains dalam khazanah epistemologi Barat. Sains sebagaimana dipahami pada masa-masa awal abad ke-19, diartikan sebagai sembarang pengetahuan yang terorganisir (any or ganized knowledge). Definisi ini membawa konsekuensi bahwa tidak semua pengetahuan termasuk kategori sains, hanya pengetahuan yang tersusun secara sistematis. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, sains secara spesifik dibatasi pada kawasan pengetahuan yang dapat diobservasi secara fisikal.
Konsekuensi pandang- an ini, jenis pengetahuan lain yang tidak dapat diobservasi seperti filsafat dan agama, harus dikeluarkan dari kategori sains dan dipandang tidak ilmiah. Pemahaman yang membatasi hal ilmiah hanya pada objek yang dapat diobservasi dengan indra seperti ini tentu tidak dapat diterima dalam kajian epistemologi Islam. Berangkat dari pemahaman dan definisi tentang ilmu oleh para pemikir muslim, jelas terlihat bahwa kawasan yang dapat diketahui menurut Islam tidak saja pada objek yang diamati secara fisikal, tetapi juga yang metafisika. Tidak saja melingkupi apa yang menjadi pembahasan dalam sains modern, yaitu hal-hal yang dapat diobservasi, melainkan juga bidang-bidang lain yang keberadaannya ditolak oleh sains modern sebagai kerja ilmiah seperti filsafat dan teologi. Selanjutnya, secara sederhana dapat dikemukakan bahwa hakikat ilmu dalam Islam meliputi tiga bidang utama. Pertama, bidang yang lahir dari proses pengamatan terhadap suatu objek tertentu yang dapat diindra seperti sains kealaman yang menjadikan alam raya dan kehidupan di dalamnya sebagai basis pengembangan ilmu. Kedua, bidang yang mengguna- kan kemampuan logika nalar atau akal seperti filsafat. Ketiga, bidang yang menjadikan teks wahyu Ilahi atau intuisi sebagai sumber data atau informasi, umumnya ilmu-ilmu agama masuk dalam kategori ini.
Ketiga bidang ilmu ini diposisikan secara bersamaan dan integratif dalam kajian epistemologi Islam, karena masing-masing bidang ini saling melengkapi dan mendukung. Keberadaan satu bidang ilmu tidak lantas menafikan keberadaan bidang yang lain. Pendukung dari satu bidang ilmu tertentu tidak bisa mengklaim sebagai satu-satunya sumber ilmu yang benar dan memandang yang lain sebagai keliru. Sains yang empirik tidak boleh mengatakan bahwa hanya yang riil itulah yang logis, sebagaimana juga filsafat yang rasional tidak bisa menyatakan bahwa hanya yang logis itulah yang riil. Begitu juga agama tidak boleh menafikan peran dan keberadaan pengetahuan yang empirik dan rasional, dan menyatakan bahwa hanya wahyu ilahi atau intuisi sebagai satu-satunya sumber otoritas kebenaran yang diterima. Ketiga bidang ilmu ini adalah kesatupaduan yang saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lainnya.
B. Pandangan Tentang Sumber Ilmu
Berpijak pada pandangan tentang hakikat ilmu dalam Islam, ada tiga sumber ilmu yang diyakini dan dipegangi umat Islam, yakni: sumber ilmu yang berasal dengan ayat-ayat qauliyyah (wahyu Tuhan); sumber ilmu yang terkait dengan ayat-ayat kauniyyah (alam semesta); dan sumber ilmu yang berhubungan dengan ayat-ayat insâniyyah (diri manusia).  Ayat-ayat di sini dimaksudkan sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah yang menjadi tuntutan
bagi manusia untuk dikaji secara intensif, sehingga dapat dipahami aturan main Tuhan yang terdapat padanya agar dapat dimanfaatkan untuk kehidupan umat manusia yang lebih baik.


1. Ayat-ayat Qauliyyât
Kedudukan Alquran sebagai ayat-ayat qauliyyah (words of God) menempati posisi yang sangat strategis, bahkan sering kali diposisikan lebih tinggi dibandingkan sumber epistemologi lain yang lazim dipergunakan semisal alam raya yang dikenal dengan ayat-ayat kauniyyah (worlds of God) ataupun ayat-ayat insâniyyah. Bahkan, tingkat kesahihannya dipandang lebih dapat diandalkan, karena ia merupakan firman Tuhan Sang Maha Pencipta, yang menciptakan alam raya dan diri manusia. Keberadaannya juga sekaligus menjadi sumber inspirasi dalam memandang sumber-sumber ilmu lainnya, karena dalam Alquran juga dibicarakan mengenai alam raya beserta proses penciptaannya serta banyak aspek dari kemanusiaan.
Terkait dengan dimensi keilmuan Alquran ini, ada dua pandangan umum yang mengemuka, yaitu: pandangan yang menyatakan bahwa Alquran merupakan sumber pengetahuan ilmiah dan pandangan yang menyatakan bahwa Alquran merupakan kitab petunjuk. Pertama, pandangan Alquran sebagai sumber pengetahuan ilmiah. Pandangan ini merupakan pandangan yang umum diyakini oleh mayoritas umat Islam. Pandangan yang menganggap Alquran sebagai sebuah sumber segala pengetahuan sejatinya bukanlah sesuatu yang khusus atau baru marak belakangan sebagaimana bisa disaksikan pada banyak karya intelektual muslim masa kini. Sebelum itu para ilmuwan terdahulu juga banyak yang memiliki pandangan yang serupa. Kedua, pandangan bahwa Alquran adalah kitab petunjuk. Pandangan ini merupakan reaksi atas pandangan pertama yang menyatakan bahwa Alquran memiliki dimensi keilmuan yang komprehensif.
Al-Syathibi menolak argumentasi al-Ghazali, dan berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui Alquran dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun dari mereka yang menyatakan bahwa Alquran mencakup seluruh cabang ilmu.Sementara itu, M. Quraish Shihab berpendapat bahwa hubungan antara Alquran dan ilmu bukan dengan melihat adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar atau ilmu komputer yang tercantum dalam Alquran, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat- ayatnya menghalangi kemajuan ilmu atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Alquran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan. Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi psikologi sosial, bukan pada sisi sejarah perkembangan ilmu.  
Lebih lanjut M. Quraish Shihab kemudian menyimpulkan mengenai hubungan Alquran dan ilmu dengan beberapa pernyataan, yakni: (1) Alquran adalah kitab hidayah yang memberikan petunjuk kepada manusia seluruhnya dalam persoalan-persoalan akidah, tasyri’, dan akhlak demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat; (2) Tiada pertentangan antara Alquran dengan ilmu; (3) Memahami hubungan Alquran dengan ilmu bukan dengan melihat adakah teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru tersimpul di dalamnya, tetapi dengan melihat adakah Alquran atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu atau mendorong lebih maju; (4) Membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah berdasarkan Alquran bertentangan dengan tujuan pokok atau sifat Alquran dan bertentangan pula dengan ciri khas ilmu; (5) Sebab-sebab meluasnya penafsiran ilmiah (pembenaran teori-teori ilmiah berdasarkan Alquran) adalah akibat perasa- an rendah diri dari masyarakat Islam dan akibat pertentangan antara golongan Gereja (agama) dengan ilmuwan yang diragukan akan terjadi pula dalam lingkungan Islam, sehingga cendekiawan Islam berusaha menampakkan hubungan antara Alquran dengan ilmu; dan (6) Memahami ayat-ayat Alquran sesuai dengan penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai akidah Qur’âniyyah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip atau ketentuan bahasa.


2. Ayat-ayat Kauniyyât
Pandangan bahwa kosmos atau alam raya sebagai sebuah sumber ilmu (sumber epistemologi) sudah hampir menjadi kesepakatan dari mayoritas para ilmuwan. Segenap aktivitas ilmiah di dunia sekarang ini ditujukan dalam upaya menyingkap berbagai rahasia yang melekat pada alam semesta ini, yang kemudian melahirkan berbagai teori dan hukum alam semisal teori tentang gravitasi, hukum berat jenis dan lain sebagainya.Dalam kaitannya posisi alam sebagai salah satu sumber ilmu ini, Alquran banyak menyebutkan dalam berbagai ayat, yang memerintahkan kepada manusia untuk mempelajari sistem dan skema penciptaan, keajaiban-keajaiban alam, sebab-sebab dan akibat-akibat seluruh benda yang ada, kondisi-kondisi organisme hidup dan lain sebagainya serta mengambil pelajaran darinya.Sebagaimana bisa dilihat pada banyak ungkapan ayat Alquran, Allah telah menjadikan seluruh benda-benda yang ada di alam semesta sebagai tanda-tanda penciptaan-Nya, dan sistem alam sebagai rekaman perancang dan pemrogram yang Mahatahu. Kajian tentang alam dan apa-apa yang ada di dalamnya, sebagaimana disitir oleh Mahdi Ghulsyani, merupakan alat-alat atau cara yang sangat penting bagi manusia untuk mengetahui Allah dan mengenal keagungan penciptaannya.
Keniscayaan alam sebagai sumber ilmu juga dapat dilihat dari banyak ayat dalam Alquran yang menjelaskan bahwa dengan mempelajari berbagai fenomena alam akan dapat menghasilkan hukum-hukum alam dan berbagai karakteristik benda serta organisme yang bermanfaat besar dalam upaya perbaikan kondisi hidup manusia. Karenanya, alam merupakan salah satu sumber ilmu yang penting bagi manusia sehingga berbagai “rahasia” yang masih kabur bisa tersingkap lebih jelas. Alquran sendiri secara lugas telah menyatakan bahwa segala apa yang terdapat di langit dan bumi ini di- peruntukkan bagi kepentingan manusia, agar dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, ia harus dikaji secara mendalam untuk me- mahami berbagai jejak Ilahi dan melahirkan kesadaran kebertuhanan bagi manusia. Manusia sendiri telah ditetapkan menjadi khalifah Allah diper- mukaan bumi. Khalifah ini selain bermakna wakil atau utusan Tuhan, juga sekaligus dapat dimaknai sebagai penguasa dengan berbagai tanggung jawab yang harus dimiliki.  . Dalam upaya mengenal alam semesta dan hakikat benda ada beberapa cara yang lazim dikenalkan dalam kajian epistemologi Islam, yakni: indra, khususnya pada indra pendengaran dan penglihatan; akal serta pemikiran, yang dalam ruang lingkup yang terbatas dan sesuai dengan landasan- landasan serta dasar-dasarnya yang khusus, ia dapat menyingkap hakikat dengan pasti dan yakin; hati atau intuisi yang berkaitan dengan pengetahuan yang sifatnya pemberian (knowledge by presence); wahyu, yakni dengan perantara manusia pilihan (nabi dan rasul) dan memiliki kedudukan yang tinggi dapat menjembatani hubungan manusia dengan alam gaib.

3. Ayat-ayat Insâniyyâh
Manusia merupakan bagian dari alam, namun mengingat kompleksi- tas fungsi atau tugas yang harus dilaksanakannya serta keberadaannya yang menjadi subjek istimewa sekaligus juga objek kajian yang menarik dan me- lahirkan berbagai ragam keilmuan, membuatnya ditempatkan pada posisi tersendiri sebagai bagian dari sumber ilmu.
Sebagai sumber ilmu, manusia dapat dikelompokkan kepada beberapa bagian. Pertama, berkaitan dengan tabiat atau internal dirinya, yang menjadi lahan kajian psikologi dan filsafat. Kedua, berkenaan dengan perbuatan manusia dalam kurun rentang perjalanan waktu yang kemudian menjadi lahan garapan sejarah. Ketiga, berhubungan dengan interaksi manusia dengan yang lainnya, baik dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitar, yang menjadi perhatian bidang antropologi, sosiologi dan arkeologi, politik, hukum, dan lain sebagainya.
Keberadaan manusia secara ontologi menempati kedudukan dan posisi yang sangat strategis dalam kajian keislaman tradisional. Manusia dalam tradisi sufi sering dinyatakan dengan tiga sebutan: (1) sebagai tujuan akhir dari penciptaan; (2) sebagai miniatur dari alam semesta (mikro- kosmos); dan (3) sebagai cermin atau bayangan Tuhan. Manusia sebagai tujuan akhir dari penciptaan ini secara implisit dinyatakan dalam berbagai ayat Alquran yang menjelaskan bahwa alam dan semua yang terdapat di dalamnya diperuntukkan bagi manusia. Ibnu ‘Arabi ketika mengomentari suatu hadis qudsi yang berbunyi: “Kalau bukan karenamu, tidak akan Kuciptakan alam semesta ini”, menyatakan bahwa meski hadis ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., namun ia juga dapat diterapkan pada manusia secara umum. Nabi Muhammad saw. dalam hal ini merupakan simbol dari kesempurnaan pencapaian yang berhasil diraih oleh seorang anak manusia.
Bagi Ibnu Arabi, insan kamil adalah bentuk yang paling sempurna di antara ciptaan-Nya. Insan kamil merupakan miniatur alam (mikrokosmos) yang dapat mengenali diri dan Tuhannya. Karena alasan inilah maka manusia ditunjuk sebagai khalifah di muka bumi. Jadi, kemunculan insan kamil adalah esensi kecemerlangan dari cermin alam, yang merupakan tajallî (penampak- kan diri) Tuhan sebagai al-Haqq pada manusia yang tinggi citra wujudnya. Dan sosok Nabi Muhammad saw. adalah prototipe untuk mencapai kualitas paripurna sebagai manusia atau biasa disebut dengan insan kamil. Hakikat proses perjalanan dari perjuangan dan dakwah Nabi Muhammad saw. adalah proses pembelajaran dan pendidikan dari Allah swt. tentang tugas dan tanggung jawab manajerial diri, makhluk, dan alam semesta di hadapan- Nya. Tugas dan tanggung jawab sebagai ’Abd Allâh (hamba Allah) secara vertikal serta tugas dan tanggung jawab diri sebagai khalifatullâh (pengganti Allah) secara horizontal. 
Sementara itu, Jalaluddin Rumi membandingkan keberadaan manusia seperti halnya buah pada pohon. Buah senantiasa muncul di akhir, tetapi ia merupakan tujuan utama sebuah pohon. Manusia adalah buah alam. Meskipun dia tumbuh belakangan, namun karena buah itulah maka pohon itu ada. Manusia disebut sebagai mikrokosmos karena padanya melekat berbagai unsur yang ada pada kosmos. Seperti halnya buah yang padanya terkadang terdapat semua unsur pohon yang melahirkannya seperti akar, batang, cabang, dahan, dan ranting, demikian juga pada diri manusia terdapat seluruh unsur kosmos seperti mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan bahkan juga mencakup unsur malaikat dan Tuhan.  Manusia sebagai cermin Tuhan sangat terkait ketika manusia telah dapat memanfaatkan secara maksimal potensi jiwa mereka. Manusia yang telah membersihkan hatinya sampai pada tingkat kehalusan yang sempurna, dia dapat memantulkan sifat-sifat Ilahi yang inheren dalam dirinya. Menurut al-Jilli, ketika seseorang telah mampu memantulkan sifat-sifat Ilahi di dalam dirinya, maka ia berhasil menghapus sifat keakuannya, dan akan menjadi tempat manifestasi bukan saja sifat-sifat Ilahi, tetapi juga asma (nama-nama), af ’al (perbuatan), dan bahkan dzat (esensi).
Posisi manusia sendiri dalam konteks pengembangan ilmu dapat dilihat dari dua segi. Pada posisi sebagai objek ilmu, yakni menjadi sumber ilmu atau dapat disebut sebagai ayat-ayat insâniyyah. Ada banyak aspek yang dapat dilihat dari diri manusia, baik sebagai individu yang mandiri; interaksi dengan individu lain atau dengan alam sekitar; kehidupan dalam komunitas; maupun dalam rentang perjalanan waktu (sejarah) serta lain sebagainya. Dalam konteks keilmuan, kajian yang membahas tentang persoalan kemanusiaannya ini lazim disebut dengan ilmu sosial humaniora. Ada beragam disiplin ilmu yang membahas tentang persoalan manusia dengan segala dinamika yang meliputinya seperti sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, ekonomi dan lain sebagainya.
Selanjutnya pada posisi sebagai subjek, manusia dalam hal ini ber-posisi sebagai pelaku atau pencari ilmu, yakni subjek yang melakukan ber- bagai kajian atau penelitian dalam upaya pembangunan ilmu. Posisi manusia sebagai sentral menjadikan keberadaannya dinilai lebih dibandingkan dengan makhluk lainnya. Pada kondisi ini, yakni ketika manusia memiliki penguasaan terhadap ilmu, maka janji Tuhan untuk mengangkatnya pada status derajat yang lebih tinggi menjadi suatu keniscayaan. Sebagai fasilitas dalam kedudukan sebagai ‘pencari’ ilmu, manusia diberikan karunia berupa alat-alat epistemologi yang dapat dipergunakan, yakni indra, akal dan hati. Alat-alat inilah yang kemudian dimanfaatkan dalam upaya mengggali sumber-sumber ilmu, baik dalam bentuk ayat-ayat qauliyyah, kauniyyah, maupun insâniyyah.

PENUTUP
Sebagai penutup dari tulisan ini dapat disimpulkan, bahwa konsep Islam tentang ilmu cukup komprehensif. Ilmu dapat dipadankan dengan science dalam tradisi Barat, namun dengan pemaknaan yang lebih luas. Cakupan ilmu dalam Islam tidak sebatas yang fisikal dan dapat diamati (observable) saja, tetapi juga meliputi aspek metafisika. Ilmu dalam Islam identik dengan nilai objektifitas (ala mâ huwa bihi) yang menjadi karakteristik utama yang mesti melekat pada ilmu. Dilihat dari segi sumber ilmu, berbeda dengan keyakinan umum tentang dua ayat-ayat Tuhan, ayat-ayat qauliyyah dan ayat-ayat kauniyyah. Tulisan ini menambahkan ada satu lagi ayat-ayat Tuhan mesti juga mendapat perhatian, yakni ayat-ayat insâniyyah. Implikasi ketiga ayat di atas dalam pengembangan kajian epistemologi Islam cukup jelas. Umat Islam dalam hal ini dituntut untuk menguasai dan memahami ketiganya. Pada ayat-ayat qauliyyah, maka dituntut penguasaan ilmu-ilmu agama. Pada ayat-ayat kauniyyah, maka dituntut penguasaan sains kealaman. Pada ayat-ayat qauliyyah, maka dituntut penguasaan ilmu-ilmu sosial humaniora.




























DAFTAR PUSTAKA

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. NaquibAl Attas, (Bandung: Mizan, 2003)

S.M. Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Petaling Jaya: ABIM,1980), 

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2001), 

Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: the Concept of Knowledge in Medieval Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1970), 

Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panaroma Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), 

Rosenthal, Knowledge Triumphant, 


Wan Mohd Nor Wan Daud, “Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat”, dalam ISLAMIA Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II No. 5, April-Juni 2005, 

 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1995), 

  Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Erlang ga,
2006)


Post a Comment for "HAKIKAT ILMU DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM"