ILMU TAUHID ( KALAM) PERSPEKTIF EPISTIMOLOGI_Metodologi Studi Islam
- Pendahuluan
Satu hal yang
niscaya dalam Islam adalah setiap umat Islam diwajibkan mematuhi dan menghamba
hanya kepada Allah swt. Sedangkan sebuah kepatuhan dan penghambaan tidak akan
terjadi kepada suatu zat yang tidak dikenal dan dipahami. Maka dari itu, upaya
mengenal dan memahami zat yang disembah dan wajib ditaati, yakni Allah swt,
merupakan suatu hal utama (fardh ‘ain) yang harus diketahui bagi setiap
insan yang beriman. Sehingga layak dikatakan bahwa ilmu Tauhid (Akidah),
sebagai suatu ilmu yang menjadikan hakikat Tuhan sebagai objek sentral dalam
kajiannya, merupakan ilmu yang luhur dalam kajian keilmuan Islam.
Dalam pandangan
al-Ghazali (w. 1111), segala sesuatu setidaknya terdiri dari tiga unsur;
pengetahuan (ilm), kondisi (hal), dan perilaku (amal).
Maka, dapat dikatakan bahwa ilmu Tauhid adalah ilmu tentang
keyakinan/kepercayaan yang bertujuan untuk menghasilkan keimanan yang pasti
tanpa ada keraguan sedikit pun tentang ajaran-ajaran dasar agama. Sebagai ilmu,
ilmu Tauhid tidak statis, akan tapi ia menerima dinamika perubahan dan
pengembangan (qabil lin-niqasy wa at-tagyir). Akhirnya, ilmu Tauhid
dapat menghasilkan keimanan yang pasti serta menghasilkan perilaku yang baik
dan terpuji, sebagai sari buah dari kepasrahan total terhadap Allah swt.
Namun, dalam perkembangan
sejarahnya, ilmu Tauhid berevolusi serta identik menjadi ilmu Kalam yang hanya
menitikberatkan pada debat argumentatif-teoritis mengenai aspek-aspek ketuhanan
(teosentris) daripada membumikan nilai-nilai ketuhanan untuk
kemaslahatan manusia (antroposentris). Oleh karena itu, reformulasi ilmu
Kalam merupakan suatu yang niscaya. Selanjutnya, makalah ini akan membahas
perihal problem epistemologis serta metodologis yang muncul dari ilmu Kalam,
sekaligus mengupayakan munculnya epistemologi baru di dalamnya.
- PEMBAHASAN
1.
Tinjauan
Umum Perihal Epistemologi Islam
Berdasarkan akar katanya,
epistemologi merupakan gabungan dari dua kata yang diangkat dari bahasa Yunani,
yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti
pengetahuan sistematik. Dengan demikian dapat diartikan bahwa epistemologi
adalah pengetahuan sistematis mengenai pengetahuan. Runnes dalam Dictionary
of Philosophy mengartikan epistemologi sebagai the branch of philosophy
which investigates the origin, structure, methods, and validity of knowledge (Pranarka,
1987: 3). Epistemologi
bisa diartikan sebuah studi atau asal sebuah teori, sumber-sumber, dan
batas-batas pengetahuan (Victoria, 1996: 458). Jelasnya epistemologi
mempelajari tentang: (i) pendefinisian, ciri-ciri, (ii) substansi dari sebuah
kondisi atau sumbernya, (iii) batas pengetahuan dan penetapannya. Pengetahuan
mempunyai dua corak: Pertama, explicit, pengetahuan yang berada
dalam kesadaran diri, dengan demikian orang yang mengetahui adalah orang yang
kesadarannya terhubung dengan pengetahuannya. Kedua, implicit,
tersembunyi dari kesadaran diri. Kebanyakan pengetahuan manusia bersifat
implisit (Robert, 1999: 273).
Dalam Al-Qur’an dijelaskan
terdapat tiga sumber pengetahuan, yaitu pendengaran (al-sam’),
penglihatan (al-abshar), dan hati (al-af’idah) (Q.S. Al-Nahl:
78). Kedua sumber yang pertama adalah sumber pengetahuan bagi obyek-obyek
empiris. Sedangkan sumber yang ketiga, yang dalam hal ini adalah rasio dan
intuisi, merupakan instrumen pengetahuan bagi obyek-obyek non-fisik atau
metafisik. Apa yang dikatakan oleh al-Qur’an mengenai instrumen pengetahuan
pada hakikatnya tidak mendukung secara berat sebelah terhadap salah satu dari
kedua instrumen di atas. Al-Qur’an justeru hendak mengatakan bahwa kedua
instrumen pengetahuan di atas seimbang serta memiliki wilayah obyeknya
masing-masing dan berbagai wilayah itu tidak sama dengan berbagai topik
(Murtadha, 2010: 60). Berdasarkan hal ini, para pemikir Muslim dalam memperoleh
pengetahuan menggunakan tiga macam instrumen sesuai hierarki obyek-obyeknya,
yakni: bayani untuk obyek yang bersumber dari pembacaan atas bahasa atau
teks, burhani untuk obyek yang bersumber dari rasio melalui proses
induksi, dan ‘irfani untuk obyek yang bersumber dari intuisi.
Lebih lanjut, Suhrawardi
menjelaskan bahwasanya terdapat tiga macam kemampuan manusia dalam menangkap
realitas pengetahuan. Pertama adalah cara para Sufi, yaitu dengan
mengoptimalkan daya dzauqi atau‘irfani yang mendalam, namun
mereka tidak mampu mengungkapkannya ke dalam bahasa yang
demonstratif-filosofis. Kedua adalah cara para filsuf yang mampu mengungkapkan
pengetahuan secara filosofis, namun tidak memiliki kemampuan dan pengalaman dzauqi
yang mendalam. Ketiga adalah mereka yang mampu menangkap realitas pengetahuan
baik dengan cara para sufi maupun cara filsuf. Kelompok yang oleh Suhrawardi
dinamakan muta’allih inilah yang mampu menggapai puncak tertinggi dari
kebenaran pengetahuan (Mulyadhi, 2005: 65).
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa cara memperoleh pengetahuan dalam Islam dilakukan melalui
tiga cara, yakni pertama melalui pengindraan terhadap obyek-obyek fisik.
Kedua melalui akal yang tidak hanya mampu mengenali realitas indrawi,
melainkan juga entitas-entitas non-fisik yang dijangkau oleh akal dengan cara
klasifikasi dan penguraian. Ketiga melalui hati yang dapat menangkap
realitas metafisik melalui kontak langsung (direct knowledge) dengan
obyek-obyek yang hadir dalam jiwa seseorang melalui metode mukasyafah.
2.
Pengertian
Ilmu Kalam
Ilmu
kalam bisa disebut dengan beberapa nama, antara lain ilmu ushuluddin, ilmu
tauhid, ilmu akidah, atau fiqh al-Akbar. Disebut ilmu ushuludin karena ilmu ini
membahas pokok-pokok agama semisal iman kepada Allah swt, sifat-sifat dan
perbuatan-Nya, iman kepada wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad,
iman kepada hari kebangkitan dll. Disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas
keesaan Allah. Dinamakan ilmu akidah karena ia banyak membahas tentang
ilmu-ilmu akidah agama Islam atau membahas hukum-hukum akidah yang berkaitan
dengan iman.
Fiqh
al-Akbar sendiri adalah istilah khusus yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah,
menurutnya hukum Islam yang dikenal dengan istilah fiqh terbagi atas dua
bagian. Pertama fiqh al-akbar yang membahas keyakinan atau pokok-pokok agama
atau ilmu tauhid. Kedua, fiqh al-ashghar, membahas hal-hal yang berkaitan
dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama melainkan cabang (furu’) saja.
Banyak
kalangan orientalis yang menyamakan ilmu kalam dengan istilah teologi. Seperti
William L. Resse yang mendefinisikan dengan “discourse or reason concerning
God” (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan). Namun, sebenarnya penyamaan ini
juga tidak terlalu tepat. Alasannya karena istilah teologi berarti hanya
diskursus mengenai Tuhan saja. Sesuai dengan asal katanya, ia berasal dari
bahasa Yunani kuno ‘theos’ (dewa, Tuhan) dan ‘logos’ (wacana, perbincangan).
Sedangkan dalam literature Islam, ilmu kalam tidak sesederhana sebagaimana
definisi orientalis. Ia mencakup prinsip-prinsip keimanan dan pokok-pokok
ajaran agama berdasarkan dalil-dalil naqli (wahyu) maupun ‘aqli (rasio logika).
Ibnu
Khaldun mendefinisikan ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang mengandung
berbagai argumentasi tentang iman yang diperkuat dengan dalil-dalil rasional.
Sementara menurut al-Iji ilmu kalam adalah ilmu yang mampu mengukuhkan akidah
Islam dengan memaparkan argumentasi-argumentasi dan menyanggah atas beberapa
kekeliruan dan keraguan.
Tahap penamaan Kalam sebagai ilmu dapat juga
dirujuk dari fakta sejarah ketika Ibnu Sa’ad (288 H./845 M.) menggunakan
istilah mutakallimun untuk mereka yang terlibat dalam diskusi pelaku dosa besar
yang diangkat oleh kaum Murjiah. Namun, istilah kalam yang merujuk kepada
disiplin ilmu pemikiran spekulatif muncul pada akhir abad ke-4 Hijriyah, di
dalam karya Ibnu Nadim, Kitab Fihrits. Sebelum menjadi disiplin ilmu yang
mandiri, ilmu kalam masih dalam rumpun kajian fiqih. Imam Abu Hanifah
menamainya dengan fiqh al-Akbar.
3.
Aliran-Aliran
Ilmu Kalam
Problematika teologis di kalangan umat Islam
baru muncul pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661M) yang
ditandai dengan munculnya kelompok dari pendukung Ali yang memisahkan diri
mereka karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima Tahkim dalam
menyelesaikan konfliknya dengan muawiyah bin abi Sofyan, gubernur syam, pada
waktu perang siffin. Kelompok ini selanjutnya dikenal dengan Kelompok Khawarij.
Lahirnya Kelompok Khawarij ini dengan berbagai
pendapatnya selanjutnya, menjadi dasar kemunculan kelompok baru yang
dikenal dengan nama Murji’ah. lahirnya Aliran teologi inipun mengawali
kemunculan berbagai Aliran-Aliran teologi lainnya. Dan dalam perkembangannya
telah banyak melahirkan berbagai Aliran teologi yang masing-masing mempunyai
latar belakang dan sejarah perkembangan yang berbeda-beda.Berikut ini akan
dibahas tentang pertumbuhan dan perkembangan Aliran tersebut berikut
pokok-pokok pikiran nya masing-masing.
4.
Sumber
Pengetahuan Ilmu Kalam
Semua aliran dalam pemikiran kalam
berpegang kepada wahyu (al-Qur’an dan Hadits) sebagai sumber pokok, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung artinya memahami wahyu sebagai
pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara
tidak langsung berarti memahami wahyu sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu
tafsir dan penalaran dengan merujuk kepada ayat-ayat yang lain. Untuk kasus
pertama sering diistilahkan dengan muhkam sedang yang kedua dinamakan dengan
mutasyabih. Contoh untuk yang muhkam adalah ayat-ayat tentang halal, haram,
hudud, kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk yang mutasyabih contohnya
adalah ayat-ayat tentang Asma’ Allah dan sifat-sifatnya.
Menurut Imam Ibnul Qayyim, walaupun Hadits
ahad tidak menunjukan kepada ilmu yakin, namun ia menunjukan kepada zhann
ghalib (dugaan kuat) sehingga boleh bagi kita untuk menetapkan asma dan
sifat-sifat Allah dengannya.
Seluruh aliran kalam, baik yang mempunyai
corak rasional dan semi liberal maupun yang bercorak hadisi (tradisional)
menggunakan akal sebagai sarana menyelesaikan persoalan kalam. Selanjutnya
perbedaan yang muncul adalah sejauh manakah posisi akal diperhatikan sebagai
sumber pengetahuan untuk merumuskan akidah Islam. Perbedaan ini, pada akhirnya
memberi corak dan warna yang berbeda dan perbedaan itu semakin kokoh dalam
bentuk aliran-aliran kalam. Mazhab kalam yang mengedepankan akal atau rasional
dalam menjelaskan berbagai persoalan akidah Islam banyak menggunakan pendekatan
filsafat meski tidak serta merta mengabaikan wahyu. Menurutnya akal memiliki
kedudukan tinggi bagi manusia. Karena tingginya kedudukan akal itu, Mu’tazilah
berpendapat bahwa akal mampu mengenal Tuhan, mengetahui wajibnya mengenal Tuhan,
memilih perbuatan baik dan buruk, dan mengakui wajibnya berbuat baik dan
menjauhi yang jahat. Kelompok ini diwakili oleh ulama Mu’tazilah.
Dari paparan di atas mengenai posisi akal,
dapat dipahami bahwa Imam al-Maturidi sepakat dengan Mu’tazilah dalam hal baik
dan buruk dapat ditemukan oleh akal berdasarkan implikasi bahaya atau manfaat
yang ditimbulkan. Dan di sisi lain terjadi silang pendapat dalam menetapkan
akal sebagai sumber pengetahuan, serta ketidakharusan bagi syariat bersesuaian
dengan penilaian akal. Di lain pihak, Imam Maturidi sepakat dengan Imam Asy’ari
tentang sumber penngetahuan al-Qur’an dan Hadits. Dan bertentangan perihal
ketentuan baik dan buruk dengan Imam Asy’ari.
5.
Metodologi
Ilmu Kalam
Sari Nusibeh dalam History of Islamic Philosophy menjelaskan
bahwa epistemologi kalam sesungguhnya menggunakan pendekatan
konservatif-dialektis. Yakni pendekatan yang mengasumsikan adanya dua dominan
kebenaran; (1) kebenaran melalui teks wahyu, sehingga teks masih menjadi titik
pusat dalam cakrawala pemikirannya, dan (2) kebenaran melalui nalar
logika-deduktif atau silogisme dalam mendekati teks. Hal itu juga dikemukan
oleh al-Jabiri dengan menyatakan bahwa epistemologi kalam, meski menggunakan
nalar logika, masih berkutat pada otoritas teks (nalar bayani), sebagai
ukuran validitas kebenaran, daripada menggunakan nalar demonstratif (burhani)
(Wardani, 2012: 38 dan 42).
Meski ilmu kalam menggunakan nalar logika sebagai pola pendekatan
berpikirnya. Namun, hal itu tidak memberikan adanya peluang koreksi atau uji
rasionalitas di dalamnya. Karena premis mayor, dalam ilmu kalam, mengambil dari
suatu yang sudah diterima secara umum atau yang diyakini dari ajaran agama.
Akhirnya, ia menjadi sangat tertutup dan diterima sebagai suatu kebenaran tanpa
ada koreksi di dalamnya. Kondisi ini masih ditambah lagi dengan adanya tuntutan
personal personal komitmen yang sangat kuat terhadap ajaran agama yang
dianutnya. Sehingga jika hal tersebut tidak disadari maka akan muncul adanya truth-claim
di masing-masing pihak, hingga sangat dimungkinkan juga terjadi taqdis
al-fikr dalam khazanah ilmu kalam, sebagaimana yang terjadi pada abad
klasik dan pertengahan .
C.
Penutup
Ilmu kalam bisa
disebut dengan beberapa nama, antara lain ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, ilmu
akidah, atau fiqh al-Akbar. Disebut ilmu ushuludin karena ilmu ini membahas
pokok-pokok agama semisal iman kepada Allah swt, sifat-sifat dan perbuatan-Nya,
iman kepada wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, iman kepada hari
kebangkitan dll
Membaca Ilmu Kalam
dari sisi epistemologi merupakan aktifitas yang menjadikan seseorang akan lebih
arif dan terbukan dalam melihat gagasan-gagasan akidah keimanan. kritik epistemologi mau tidak mau harus
dilakukan jika umat Islam ingin mengetahui berbagai anomali-anomali yang terjadi
dalam realitas kehidupan
Muslim dan menjadikan agama
sebagai salah satu alat memecahkan problem sosial yang sedang dihadapi. Untuk
itu diperlukan pendekatan alternatif dari berbagai disiplin ilmu-ilmu yang lain, bahkan sikap dan pengalaman
agama lain untuk melihat lebih
dekat agama kita sendiri.
Daftar Pustaka
A. Khudori Soleh, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
A.M.W. Pranarka, 1987, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar,
Abdul Qadir al-Jilani, t.t., Sirrul Asrar fi Ma Yahtaju
bihi al-Abrar, Mesir: al-Mathba’ah al-Bahiyah al-Mishriyah
Ahmad Amin, t.t., Dhuha
al-Islam, vol. III, Cetakan ke-6, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah
Ahmad M. Subhi, t.t., Fi
‘Ilm al-Kalam; Dirasat Falsafiyah li Ara’I al-Firaq al-Islamiyah fi Ushuluddin,
Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah
Ahmad Tafsir, 1994, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak
Thales Sampai James, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Darmanto Jatman, 2000, Psikologi Jawa, Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya
Endraswara, Suwardi, 2012, Falsafah Hidup Jawa: Menggali
Mutiara Kebijakan dari Intisari Filsafat Kejawen, Yogyakarta: Cakrawala
Frans Magnis-Suseno, 2003, Etika Jawa: Sebuah Analisa
Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Harun Nasution, 1986, Akal dan Wahyu dalam Islam,
Jakarta: UI-Press
----------, 2010, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah
Analisa dan Perbandingan, Jakarta: UI-Press
Hasan Hanafi, 2003, Dari Akidah ke Revolusi (Min
al-‘Aqidah ila al-Tsawrah), terj. Asep Usman Ismail, dkk., Jakarta:
Paramadina
Ibn Khaldun, 1981, Muqaddimah
Ibn Khaldun, vol. I, Beirut: Dar al-Fikr
Ilyas Supena, 2008, Desain Ilmu-Ilmu Keislaman,
Semarang: Walisongo Press
Jujun S. Suriasumantri, 2001, Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
M. Amin Abdullah, 1997, Falsafah Kalam di Era
Posmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
----------, 2004, Studi Agama; Normativitas atau
Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Post a Comment for "ILMU TAUHID ( KALAM) PERSPEKTIF EPISTIMOLOGI_Metodologi Studi Islam"